Advokasi Ke Wilayah Petir Kota Serang Provinsi Banten
"Sepele Tetapi Fatal dan Berhati-hatilah Buat Para Pengusaha Murni (Bisnis Man Murni/Murni Pengusaha), Terkecuali Kepada Orang Yang Berniat Jahat Diawal Harus Di Hukum"
Apakah penerbitan BG/Bilyet Giro/Cek Kosong merupakan kegagalan melakukan pembayaran (wanprestasi), ataukah tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP mengenai penipuan dan Padal 372 KUHP mengenai Penggelapan?
Pembuktian perihal adanya subtansi atau muatan norma pasal-pasal yang di maksud adalah atas suatu peristiwa yang menyebabkan seseorang menjadi korban atas sesuatu yang menyebabkan kerugian, Tindakan-tindakan penyalahgunaan cek giro ini seperti penerbitan cek giro kosong yang digolongkan sebagai perbuatan penipuan maka keadaan tersebut ditampung dalam KUHP khususnya Pasal 372 dan Pasal 378, yaitu "Penipuan Dan Penggelapan" perihal "Memberikan Bilyet Giro Atau Cek Kosong".
Perihal pembayaran menggunakan Bilyet Giro (BG) dan Cek merupakan hal yang umum berlaku dalam dunia usaha di Indonesia.
Istilah Bilyet Giro/BG/cek kosong yang dimaksud adalah Bilyet Giro/BG/cek yang ternyata tidak dapat dicairkan oleh bank penerbit dikarenakan tidak terdapat dana yang cukup pada rekening untuk dapat membayarkan pemegang sesuai dengan nilai yang tertera.
Perbuatan lahiriah (actus reus) yang disengaja, dengan niat batin (mens rea) memang untuk menipu, bila si pemberi cek sejak semula memang mengetahui cek tersebut kosong atau sudah patut menduga atau dapat diprediksi (dikalkulasi) olehnya tidak akan dapat dicairkan pada waktunya karena saldo pada rekening giro tidak mencukupi, sehingga membuat penerima cek (diiming-imingi akan dibayar / dilunasi) seolah berasumsi cek tersebut dapat dicairkan pada waktunya, maka terhadap pemberi “cek kosong” dijerat atas dasar Tindak Pidana Penipuan.
Kecuali bila sang pemberi cek tidak menyadari bahwa dana dalam rekening giro miliknya tidak mencukupi atau kalkulasinya yang semula menduga saldo giro akan mencukupi namun terdapat hal tidak terduga membuat prediksi kecukupan saldo menjadi “meleset”, dan segera mengambil langkah koreksi ketika diberikan teguran oleh penerima cek, sebagai wujud itikad baik (tidak mempermainkan dengan memberi “harapan palsu”, atau secara transparan segera mengkomunikasikan / menghubungi pihak penerima cek atau bilyet giro bahwa dana belum mencukupi untuk dicairkan pada saat jatuh tempo), maka hal tersebut menjadi semata tanggung-jawab keperdataan / kontraktual, tidak masuk dalam ranah hukum pidana.
Rumusan pidana “penipuan” diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Rumusan pidana “penggelapan” diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah"
Yang menjadi yurisprudensi ialah Putusan Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973 tanggaI 15-11-1975:
“Seseorang yang menyerahkan cek, padahal ia mengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan tipu muslihat sebagai termaksud dalam Pasal 378 KUHP.”
Suatu hubungan perikatan perdata, tidak selamanya memiliki konsekuensi hukum keperdataan semata. Ketika suatu hubungan hukum keperdataan dilandasi adanya itikad tidak baik berupa “niat batin” hendak menipu sejak semula (adanya unsur esensial berupa “kebohongan” yang disengajakan oleh pelakunya, by design), maka selain tanggung-jawab keperdataan yang dapat digugat secara perdata (wanprestasi), terhadap pelaku juga dapat dijerat secara pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Definisi
(A) Cek adalah surat perintah membayar sebagaimana diatur dalam Kitab UU Hukum Dagang (“KUHD”).
Sedangkan, dijelaskan dalam situs Bank Indonesia bahwa Cek adalah surat perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah dana yang tercantum dalam cek. Penarikan cek dapat dilakukan baik "atas nama" maupun "atas unjuk" dan merupakan surat berharga yang dapat diperdagangkan (negotiable paper). Pengaturan Cek dalam KUHD dapat ditemui dalam Pasal 178 sampai dengan Pasal 229.
(B) Bilyet Giro adalah surat perintah pemindahbukuan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro. Pada situs Bank Indonesia tersebut juga dijelaskan bahwa Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindah bukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan namanya.
(C) Cek/Bilyet Giro kosong adalah Cek/Bilyet Giro yang diunjukkan dan ditolak Tertarik dalam tenggang waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh Penarik karena saldo tidak cukup atau Rekening telah ditutup.
UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong (“UU Cek Kosong”)
Menurut artikel Sejarah Bank Indonesia: Sistem Pembayaran Periode 1966-1983 yang diterbitkan oleh Unit Khusus Museum Bank Indonesia (hlm. 7), berdasarkan UU Cek Kosong, penarikan cek kosong yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan sanksi pidana yang berat, yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Ancaman pidana yang berat itu ternyata menimbulkan keengganan masyarakat menggunakan cek dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1971. Maka pada saat ini penarikan cek kosong bukan lagi dianggap sebagai suatu kejahatan. Praktis tidak terdapat lagi perbedaan yang signifikan antara penarikan cek kosong dengan bilyet giro kosong dari segi hukum pidana.
Pasal 1234 Kitab UU Hukum Perdata (“KUHPer”)
Cek dan Bilyet Giro sendiri merupakan alat pembayaran, sedangkan kegagalan pembayaran utang dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, yaitu keadaan apabila salah satu pihak di dalam satu perjanjian tidak melaksanakan prestasi atau kewajibannya dan bukan karena keadaan memaksa (overmacht). Hal ini dijelaskan juga dalam artikel Cek Kosong.
Menurut Pasal 1234 Kitab UU Hukum Perdata (“KUHPer”) prestasi terbagi dalam tiga macam:
(A) Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam Pasal 1237 KUHPer);
(B) Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPer); dan
(C) Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPer).
Jadi, pada dasarnya mengenai kegagalan pembayaran adalah termasuk ke dalam ranah hukum perdata. Namun, menurut artikel Cek Kosong, memang terdapat juga kemungkinan kegagalan pembayaran tersebut dilakukan untuk melakukan tindak pidana, misalnya tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab UU Hukum Pidana (“KUHP”). Terhadap kasus yang terakhir ini, apabila apabila unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi dan terbukti bahwa pemberian cek atau bilyet giro kosong dilakukan untuk melakukan kejahatan, maka pemidanaan tetap dapat dilakukan.
Dasar hukum:
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43).
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732).
4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan UU No. 17 Tahun 1964.
5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro.
6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/Dasp Tahun 2000 tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.
Dibawah Ini Adalah Beberapa Foto Dokumentasi Arsip Kami: