Perkara Sengketa Tanah Masih Sering Terjadi Di Masyarakat

Banyak temuan di lapangan perihal Hukum Perdata Sengketa pada objek sebidang tanah terjadi kepada masyarakat yang awam hukum dimainkan oleh oknum-oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan kejahatannya. Saya sebagai SEKJEND LBH BALINKRAS DPC Bogor Raya [R. Girang L. Perkasa] akan mencoba memberi penjelasan sedikit ilmu yang saya dapat di lapangan dan dipadukan dengan beberapa artikel yang saya baca untuk pembelajaran saya pribadi tentang pendalaman materi ini terkait tentang perkara sengketa. saya paling geram menentang serta mengecam keras jika ada oknum instansi pemerintah, instansi swasta ataupun individu yang melakukan kejahatan kepada masyarakat marjinal arus bawah.

Pasal-pasal apa saja yang di atur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengab "Sengketa Tanah"

Didalam KUHP Buku II Bab XXV, perbuatan curang seperti penyerobotan tanah dapat diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal empat tahun. Pasal 385 terdiri dari 6 ayat ini mendefinisikan secara jelas akan tindakan kejahatan tersebut. Segala bentuk kejahatan yang terdapat dalam pasal 385 ini disebut dengan "Kejahatan Stellionnaat" yang mana merupakan aksi penggelapan hak atas harta yang tak bergerak milik orang lain, seperti tanah, sawah, kebun, gedung, dll.
Secara ringkas, keseluruhan isi pasal tersebut menyatakan segala perbuatan melanggar hukum seperti dengan sengaja menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, menjadikan sebagai tanggungan utang, menggunakan lahan atau properti milik orang lain dengan maksud untuk mencari keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah atau melawan hukum yang berlaku.
Pasal 385 KUHP adalah salah satu pasal yang sering digunakan oleh Pihak Penyidik dan Penuntut Umum untuk mendakwa "Pelaku Penyerobotan Tanah dengan hukuman penjara selama - lamanya 4 (empat) tahun dihukum". Agar dapat dikenakan pasal ini, maka terdakwa harus nyata berbuat hal-hal sebagai berikut: 
  1. Terdakwa ada maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak (secara tidak sah);
  2. Terdakwa telah menjual, menukar atau membebani dengan credit verband hak pakai bumiputera atas tanah milik negara atau tanah milik partikulir, atau gedung, pekerjaan, tanaman atau taburan di atas tanah hak pakai bumiputera;
  3. Terdakwa mengetahui, bahwa yang berhak atau ikut berhak di situ adalah orang lain;
  4. Terdakwa tidak memberitahukan kepada pihak lain, bahwa di situ ada credit verbandnya;
  5. Terdakwa tidak memberitahukan  kepada pihak lain, bahwa tanah itu sudah digadaikan;
  6. Terdakwa telah menggadaikan atau menyewakan tanah orang lain;
  7. Terdakwa telah menjual atau menukarkan tanah yang sedang digadaikan pada orang lain dengan tidak memberitahukan tentang hal itu kepada pihak yang berkepentingan.
  8. Terdakwa telah menyewakan tanah buat selama suatu masa, sedang diketahuinya, bahwa tanah itu sebelumnya telah disewakan kepada orang lain.
Selain KUHP pasal 385, penyerobotan tanah terhadap hak atas tanah dalam artian lebih luas juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang Nomor 51 Tahun 1960 (Perpu 51/1960) tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, tepatnya pada pasal 2 dan 6.

Didalam artikel R.Soesilo, Menurut Perpu 51/1960 mengenai menduduki tanah orang lain, dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (“Perppu 51/1960”). Perppu 51/1960 mengatur mengenai larangan memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.[3]

Memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.[4]

Memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-sebanyaknya Rp. 5.000.[5]

Pidana ini juga berlaku bagi orang yang memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan memakai tanah tanpa izin pihak yang berhak atas tanah tersebut.[6] Oleh karena itu, kepala desa yang memberikan bantuan dalam penyerobotan tanah (pendudukan tanah oleh orang lain), dapat dipidana juga.

Selain dalam Perppu 51/1960, Kepala Desa tersebut bisa juga diancam pidana berdasarkan KUHP. Kepala Desa merupakan orang yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan desa.[7] Perbuatan penyerobotan tanah yang dilakukan dapat juga dikenai Pasal 424 KUHP, yang berbunyi:

Pegawai negeri yang dengan maksud akan menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hak serta dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya menggunakan tanah Pemerintah yang dikuasai dengan hak Bumiputera, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.

Yang dimaksud dengan pegawai negeri atau ambtenaar menurut R.Soesilo (hal. 100) adalah orang yang diangkat oleh kekuasaan umum menjadi pejabat umum untuk menjalankan sebagian dari tugas pemerintahan atau bagian-bagiannya.

Unsur-unsur yang termasuk di sini adalah:
  1. Pengangkatan oleh instansi umum;
  2. Memangku jabatan umum, dan;
  3. Melakukan sebagian dari tugas pemerintahan atau bagian-bagiannya.

Kepala desa dan para pegawainya termasuk salah satu dari golongan ambtenaar atau pegawai negeri.[8]

Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan, supaya dapat dihukum, maka pegawai negeri tersebut harus melakukan perbuatan tersebut dalam melakukan jabatannya.[9]

Perbuatan Penyerobotan Tanah Menurut Hukum Perdata

Sedangkan menurut hukum perdata, orang-orang yang melakukan penyerobotan tanah dapat dijerat dengan tuduhan perbuatan melawan hukum. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam kasus penyerobotan tanah ada pihak yang dirugikan dan menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami. Selain itu, penyerobotan tanah juga merupakan perbuatan dimana seseorang secara tanpa hak masuk ke tanah.

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka si pelaku dapat terjerat dengan sudah terjadinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:
  1. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); 
  2. Perbuatan itu harus melawan hukum; 
  3. Ada kerugian; 
  4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; 
  5. Ada kesalahan;
 

Di Bawah ini adalah tata cara penanganan sengketa melalui mediasi sesuai dengan ketentuan Permen ATR/Kepala BPN 21/2020.

Penyelesaian kasus pertanahan juga dapat diselesaikan melalui mediasi. Jika mediasi tercapai kesepakatan perdamaian, dituangkan dalam akta perdamaian dan didaftarkan para pihak di Pengadilan Negeri wilayah hukum letak tanah yang jadi objek kasus untuk memperoleh putusan perdamaian. Jika mediasi gagal, selanjutnya diambil keputusan penyelesaian kasus. Khusus untuk sengketa dan konflik dengan kasus sedang atau ringan, penanganannya dapat dilakukan tanpa melalui semua tahapan yang telah diatur dalam Permen ATR/Kepala BPN 21/2020.

Dalam permen tersebut,  telah mengatur secara lengkap tahapan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan secara berurutan melalui tahapan:

  • Pengkajian kasus yang dilakukan untuk memudahkan kasus yang ditangani dan dituangkan dalam bentuk telaahan staf yang memuat mulai dari pokok permasalahan (subjek yang bersengketa, keberatan atau tuntutan pihak pengadu, letak, luas dan status objek kasus) hingga menentukan target dan waktu penyelesaian.
  • Gelar awal yang digunakan sebagai dasar untuk menyiapkan kertas kerja penelitian sebagai dasar melaksanakan penelitian.
  • Penelitian, yakni proses mencari, mendalami, mengembangkan, menemukan, dan menguji data dan/atau bahan keterangan yang dibutuhkan untuk membuat terang suatu kasus. Hasil penelitian dituangkan dalam bentuk laporan hingga saran tindak lanjut penyelesaian.
  • Ekspos hasil penelitian untuk menyampaikan data/bahan keterangan yang menjelaskan status hukum produk hukum maupun posisi hukum masing-masing pihak. Jika ekspos hasil penelitian menyimpulkan masih diperlukan data, bahan keterangan dan/atau rapat koordinasi dengan instansi atau lembaga terkait untuk mengambil keputusan atau diperlukan langkah mediasi untuk penyelesaian kasus.
  • Rapat koordinasi yakni pertemuan yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN, Kanwil BPN, kantor pertanahan sesuai kewenangannya dengan instansi terkait dalam rangka integrasi, sinkronisasi penanganan dan/atau penyelesaian kasus.Rapat koordinasi menghasilkan kesimpulan berupa penyelesaian kasus atau rekomendasi/petunjuk masih diperlukan data atau bahan keterangan tambahan untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian kasus.
  • Gelar akhir dilakukan jika ekspos hasil penelitian menyimpulkan telah terdapat cukup data dan dasar untuk mengambil keputusan untuk mengambil keputusan penyelesaian kasus yang akan dilakukan oleh Menteri, Kepala Kanwil, atau Kepala Kantor Pertanahan.
  • Penyelesaian kasus merupakan keputusan yang diambil atas kasus sebagai tindak lanjut dari penanganan yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN, Kanwil BPN, kantor pertanahan sesuai kewenangannya.


Postingan populer dari blog ini

Syarat-Syarat Perceraian Yang Harus Disiapkan Dan Prosedurnya Serta Langkah-Langkahnya

Advokasi Ke Wilayah Panggung Jati Kota Serang Provinsi Banten

Perkara Hutang Piutang, Fidusia, Wanprestasi Masih Sering Terjadi Pada Masyarakat Dengan Berbagai Kondisi